Wednesday, May 28, 2014

Cara Mendidik : Menyentuh Alam Bawah Sadar Anak

Bagaimana mengubah anak yang malas menjadi rajin? Anak malas bangun tidur, susah makan, susah tidur, dan lain sebagainya tentu mempunya penyebab tersendiri. Untuk mengubah pola hidup yang seperti itu tidak mudah, akan tetapi salah satu solusinya yaitu dengan menyentuh alam bawah sadar anak. Alam bawah sadar itu adalah akar dari setiap tindakan sadar.

Tindakan manusia, yang terlihat, sering disebut sebagai wujud dari "puncak gunung es", sedangkan motivasi dari tindakan, alasan, tujuan hidup, daya juang disebut sebagai akar atau pondai dari gunung es. "Yang tidak terlihat" justru lebih besar dan mempengaruhi tingkah laku, attitude, tindakan dan pencapaian seseorang. "Yang tidak terlihat" sering juga disebut sebagai "alam bawah sadar seseorang".




Ada beberapa trik untuk mengubah paradigma seseorang, hingga masuk ke dalam bawah sadarnya. Dalam camp-camp motivasi, misalnya seseorang dikatakan kepadanya kalimat berulang-ulang hingga ratusan bahkan ribuan kali, berpasangan mengatakan kepada teamnya "Kamu bisa!" "Kamu hebat" dan sejenisnya. Lalu mengatakan kepada diri sendiri, mulai dari berteriak, hingga suasana hening dan berkata dalam hati hal yang sama ribuan kali. Kalimat ini sampai bergema, ketika tidur, menjelang tidur, sedang menganggur, seolah masih terus bergema di dalam pikiran, di dalam hati, artinya sudah masuk ke alam bawah sadar.

Diiringi dengan pelajaran "gambar diri" untuk masuk ke alam bawah sadar melalui jalur otak, dalam kondisi sadar. Pelajaran yang merubah paradigma. Nah, ada satu trik lagi, ketika anak anda (atau anda sendiri) baru saja bangun tidur, menjelang tidur, ketika otak baru bergerak antara tidak sadar kea arah sadar, itulah saat paling tepat untuk menanamkan kealam bawah sadar anak (Anda). Inilah momen terbaik, dan gunakan sebaik mungkin.

Jadi menjelang tidur dan begitu anak mau dibangunkan, katakana kalimat positif "Anak rajin ayo Bangun" "Anak hebat, sudah pagi ayo mulai berprestasi" Dan jangan memasukkan ke alam bawah sadarnya sampah "Pemalas, ayo Bangun".

Anda sendiri, begitu Bangun tidur, begitu sadar, masih agak melayang atau mengantuk, katakan dalam hatimu "Ini hari yg luar biasa" "Ini hari kemenangan" "Tuhan akan menyertai saya hari ini" "Orang hebat, ayo Bangun dan jangan tidur lagi".

Tuesday, May 27, 2014

Cara Mendidik : Jika Anak Salah, Pilih Hukuman, Ancaman, atau Peringatan?

panduan cara mendidik anak nakal dengan hukuman ancaman peringatan
Anak Anda nakal? Menghukum boleh dilakukan, tapi selanjutnya cukup "mengancam" saja. Tidak perlu dan tidak harus selalu menghukum. Jadi misal anak nakal, dulu kita pukul pantatnya, sehingga sakit. Maka selanjutnya kita cukup berkata, "Kalau nakal terus Papa pukul nanti pantatmu". Anak tidak suka dipukul. Jadi dengan berkata begitu saja, besar kemungkinan anak akan berhenti berbuat salah atau menyadari kesalahannya. Jangan buru-buru menghukum, jangan terbiasa menghukum. Jangan asal menghukum dan jangan langsung menghukum.

Saya menjumpai kasus-kasus dimana anak dikurung di kamar mandi, malah keasyikan main air. Anak dikurung di gudang, malah menghabiskan makanan di gudang dan tidur pulas di gudang. Anak dipukul pantatnya dan berlari sambil menggoyang-goyangkan pantatnya sambil berkata, "He nggak apa ... apa ... nggak apa ... apa" Ini terjadi karena terlalu sering dihukum, sudah over dosis.

Contoh Kasus : Misalnya anak bermain dan tidak merapikan mainannya, maka pertama berikan dia ajaran atau nasehat, "Sayang, kalau habis bermain dirapikan ya sayang." Jika dia tidak melakukan mungkin dia tidak mengerti maka bisa diberikan contoh atau diajak sama-sama merapikan "Sayang kalau habis bermain... mainan dirapikan ya .. nih mama ajari." Jika berulang ulang tidak merapikan, kita bisa menghukumnya.

Hukuman dilakukan hanya untuk awal-awal saja untuk mendisiplin anak dan selanjutnya 'mengancam'. Lakukan hukuman, misal pukul pantat satu atau dua kali saja dalam hidup ini, selanjutnya gunakan 'hukuman' yang telah dilakukan untuk 'mengancam'.

Jangan Mengancam Sesuatu yang Tidak Akan Dilakukan

Dalam hal mengancam (atau peringatan), jangan mengancam dengan sesuatu yang kita memang tidak akan melakukannya. Misalnya anak bertengkar di perjalanan, di mobil berebut tempat duduk dan sebagainya, lalu orang tua mengancam, "Kalau kalian bertengkar terus, Mama akan menurunkan kalian di jalan!" Ini ancaman yang 'mengerikan' tapi tidak bijaksana. Justru membuat anak mempunyai persepsi bahwa orang tuanya 'sadis', tidak berperikemanusiaan, dan tidak memiliki kasih sayang.

Jika saudara mengancam seperti itu, bisa-bisa anak-anak berbisik-bisik satu dengan lainnya: "Mama kita kejam..." "Ya... kayak Mama tiri" "Jangan-jangan memang Mama tiri" "OKe .... besuk kita selidiki". :)

Ancamlah dengan sesuatu 'yang pernah kita lakukan', misalnya memukul. Memang jika anak meneruskan kenakalannya kita akan melakukan ancaman tersebut. Ini cara mengancam yang benar.

Contoh lain, anak berebut chanel TV, dan orang tua mengancam akan membuang televisi. Ini tidak berhikmat dan tidak produktif. Bagaimana jika anak sudah bosan dengan TV kecil atau kuno yang dimilikinya dan dia ingin TV baru seperti milik temannya, jangan-jangan dia akan menantang orang tua nya, "Buang aja".

Ancaman-ancaman yang mengerikan, sesuatu yang tidak akan dilakukan, hanya membuat anak merasakan bahwa orang tuanya bukan sedang 'mendidik' tetapi sedang 'ngamuk'.

Cara Mendidik Anak : Apa yang Harus Dilakukan Setelah Menghukum Anak?

Cara medidik anak yang harus dilakukan setelah menghukum anak
Dalam cara mendidik anak yang baik, setelah kita menghukum anak, maka perlu 'pendekatan' untuk kembali kepada mereka sehingga mereka tidak membenci kita. Jangan menghukum dan setelah itu tidak berbicara apa-apa terhadap anak yang kita didik. Berbicaralah bahwa, "Kamu dididik (dihukum, dinasehati) karena kesalahan ini. Jika tidak salah, tentu ayah tidak akan bersikap keras. Ayah mendidik (menghukum, menasehati) karena mengasihi kamu".

Jika ada pergumulan 'hati ayah' seperti poin diatas, ada rasa menyesal, kita bisa lanjutkan dengan mendatangi anak yang kita 'didik' yang kita disiplin dan berkata, "Maaf ya tadi ayah menghajar kamu cukup keras, tetapi itu ayah lakukan karena ayah mengasihi kamu. Supaya kamu tahu bahwa itu tidak baik, supaya kamu menjadi anak yang baik, supaya kamu bla bla bla dst." dan hal-hal lain yang saudara bisa katakan untuk menyampaikan pengajaran, aturan dan norma ataupun pandangan hidup.

Lakukan hal itu setelah si anak juga sudah reda secara emosi. Demikian juga dengan kita. Kita bisa menyampaikan 'pengajaran' ini dalam suasana 'pendekatan'. Kita bisa juga melakukannya di hari yang lain, dengan makan bersama, bermain atau ke plaza dan kita membicarakan, mendiskusikan masalah yang kemarin dan diselesaikan dengan baik.

Jika masalah itu melibatkan kakak dan adik (pertengkaran dua pihak), maka diselesaikan dengan saling minta maaf dan menjabat tangan. Dalam beberapa kasus, saya minta anak saya berjanji, mengucapkan janji bahwa tidak akan mengulang lagi. Kenyataan nanti akan menunjukkan bahwa dia akan mengulang lagi, dan tetap teruskan prinsip ini, tanpa mengungkit-ungkit kesalahan yang lalu. Selesaikan satu masalah dan selesai.

Jika setelah menghukum anak, pasti ada perasaan menyesal. Itu pertanda saudara orang tua yang baik. Jika ada perasaan puas, itu yang salah.

Monday, May 26, 2014

Kisah inspirasi Anak : Ali Bin Abi Thalib Ksatria Pedang Bermata Dua

Panduan mendidik anak Kisah inspirasi anak ali bin abi thalib
Ketika perang Uhud tengah berlangsung, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan islam yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa AraB yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya.

Ketika terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, di mana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah 70 orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sementara itu Amru bin Wud Al ‘Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy ikut serta dalamperang Khandak. Dengan angkuhnya
ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata,"Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwaorang yang gugur diantaramu akan masuk kedalamnya? inilah dia surga yang kini berada di hadapanmu, makasambutlah."

Namun nyatanya tak ada seorangpundari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu.

Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya". Rasulullah menjawab, "Hai Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang kejam itu?" Ali bin Abu Thalib pun menjawab, "Benar, Saya tahu dia itu adalah Amru bin Wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?" Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.

Dengan pedang bermata duanya digenggamannya Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya,"Siapakah kamu hai anak muda?", "Aku adalah Ali."

Amru bin Wud bertanya lagi, "Kamu anak Abdul Manaf?", "Bukan, Aku anak AbuThalib." sambil terus maju mendekati Amru bin Wud. Lalu Amru bin Wudberkata,"Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih terlalu muda. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu."

Ali bin Abu Thalib menjawab, "Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa detik saja."

Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunus-nya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya. Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap kuat di tameng itu.

Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras Pedang Zulfikar tepat sasaran pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan pasukan Quraisy lainnya yang menyaksikan itu lari tunggang langgang melarikan diri. Ali Bin Abi Thalib pun kembali kehadapan Rasulullah SAW bergabung kembali ke dalam pasukan.

Kisah Inspirasi Anak : Saad Bin Abi Waqash Sang Pemanah Maut

Panduan dan Cara mendidik anak - inspirasi kisah anak saad bin abi waqash
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah.

Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan. Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.

Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar bin Khattab yang menjadi khalifah saat itu, Sa'ad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird. Untuk mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.

Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.

Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa. Ketika tengah berpikir, Sa'ad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Sa'ad segera bangkit dan menghadapi pasukannya.

Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya' ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur. Setelah itu, Sa'ad berganti pakaian kemudian menunaikan sholat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Sa'ad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. tTidak ada satu panahpun yang keluar dari busur Saad melainkan selalu tepat sasaran menembus tubuh kaum musyrikin dan berakhir dengan kematian. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia.

Saad adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW sekaligus prajurit pilihan yang mempunyai banyak harta kekayaan, namun semuanya dipersembahkan untuk membela Agama Allah SWT, Islam.

Diakhir hayatnya, Saad bin Abi Waqash berpesan kepada anaknya "Anakku,,kafani jasadku dengan jubah yang kugunakan dalam perang Badar aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini".

Friday, May 23, 2014

Didiklah Anak Selayaknya Manusia, Anak Bukan Robot

Tips Panduan mendidik anak - didiklah selayaknya manusia, bukan robot
Menjadi orang tua, barangkali adalah amanah paling berat yang harus diemban seorang manusia. Menjadi orang tua bukanlah sebuah profesi yang mudah, selain harus memberi nafkah materi, orang tua juga harus memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anaknya. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua sepenuhnya.

Mendidik anak, bagi sebagian besar orang tua mungkin adalah pekerjaan yang sepele, cukup memenuhi kebutuhan materi sang anak, kemudian menyekolahkan sang anak jika sudah cukup umur, lalu memilihkan jurusan keilmuan yang cocok sesuai dengan keinginan si orang tua. Banyak orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi seperti yang mereka inginkan, namun mereka lupa mempertanyakan apa sebenarnya keinginan dan harapan sang anak itu sendiri. Yang pada akhirnya, seorang anak tumbuh sepenuhnya tunduk atas keinginan orang tuanya, menjalaninya meski dengan terpaksa.

Padahal sejatinya, anak-anak sangat butuh perlakuan yang benar dan bijaksana, bukan sekadar materi. Materi hanyalah sarana pendukung, tetapi hati seorang anak perlu untuk kita besarkan, perlu untuk kita jaga, perlu untuk kita tumbuhkan. Jika hanya kebutuhan materi anak saja yang dipenuhi, maka akan ada semacam keterpaksaan dari jiwa sang anak ketika memenuhi setiap keinginan orang tuanya. Setiap apa yang menjadi kewajibannya ia jalani semata kerena takut dan terpaksa.

Keterpaksaan anak yang semacam itulah yang dikhawatirkan. Tidak sepatutnya orang tua memaksakan kehendak dan keinginannya kepada sang anak. Sebaliknya, orang tua harus memberikan ruang kepada anaknya, memberi ruang bagi anak untuk berpikir dan kreatif, menghargai setiap pendapat anak, dan memberi apresiasi pada karya-karya yang dihasilkan sang anak.

Kendala yang kerapkali muncul dalam hubungan antara orang tua dengan anak adalah tidak adanya komunikasi yang intens. Tidak adanya komunikasi itu menyebabkan orang tua abai mendengarkan keinginan anaknya, bahkan tidak memberi kesempatan anaknya untuk mengutarakan keinginannya. Seharusnya, orang tua bisa bertindak bijaksana dengan menanyakan apa keinginan dan pilihan sang anak, barulah ia mengarahkan keinginan dan pilihan itu ke jalan yang paling baik. Sulit berkomunikasi dengan anak membuat orang tua tidak sadar bahwa ia sedang membangun benteng kokoh yang memisahkan hubungannya dengan anak, bukan membangun jembatan dari hati ke hati .

Ada banyak hal-hal kecil untuk memulai komunikasi sebagai jembatan pengakrab dengan anak, misalnya dengan memuji sang anak. Memuji anak akan membesarkan hatinya sehingga ia merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan dan dicapainya. Selama ini, banyak orang tua yang terlalu cepat marah saat anaknya berbuat yang kurang berkenan di hati. Namun, mereka (orang tua) sangat sering terlambat memuji atau bahkan sama sekali tidak memuji saat anak berbuat sesuatu yang benar .Dengan memarahi anak dan jarang memujinya, maka akan tercipta jarak yang semakin menganga dengan anak, dan hubungan orang tua dengan si anak akan semakin gersang.

Ukuran Bahagia Bukan Hanya Materi

Selama ini, banyak orang tua yang merasa telah sukses menjalankan tugasnya membahagiakan anak ketika telah mampu mencukupi kebutuhan materi sang anak. Mereka merasa, dengan memberikan materi yang cukup bahkan berlimpah, sang anak akan merasa bahagia dan bangga akan perhatian orang tuanya. Padahal, anggapan yang demikian itu sepenuhnya keliru. Ukuran bahagia sang anak bukan hanya materi, melainkan juga perhatian yang intens dari orang tua. Perhatian yang intens ini juga bukan berarti orang tua bertindak posesif dengan mengawasi setiap gerak-gerik anaknya.

Membahagiakan anak, tidaklah selalu dengan memberikan materi. Apa gunanya kita memberikan hal tersebut dengan berlimpah jika anak sering sakit hati karena kita marahi.

Kata kunci untuk menjalin hubungan yang baik antara orang tua dan anak adalah komunikasi. Jika anak melontarkan ide dan keinginannya, orang tua harus menjadi orang tua yang baik. Jika anak melontarkan pertanyaan, cobalah pahami pertanyaan anak dengan bijaksana. Jika orang tua tidak tahu jawabannya, simpanlah pertanyaan anak untuk dicari jawabannya bersama. Bangunlah komunikasi dua arah melalui cara merespons pertanyaan anak dengan bijaksana.

Orang tua yang bijaksana harus bisa memulai membangun komunikasi yang baik dengan anaknya, karena bagaimanapun, orang tualah yang bertanggung jawab atas perkembangan si anak. Pola komunikasi orang tua dengan si anak juga harus mulai diubah. Misalnya orang tua selama ini terbiasa menyuruh, hendaklah mengubah suruhan itu dengan ajakan. Ajakan, berarti orang tua juga terlibat aktif dengan apa yang dilakukan anaknya. Anak akan merasa senang jika orang tua dapat memberi contoh karena mereka butuh panutan atau pemimpin, dan pemimpin dan panutan yang paling dekat adalah orang tua.

Akhirnya, orang tua yang bijaksana bukanlah orang tua yang mampu memenuhi setiap kebutuhan materi sang anak, tapi di sisi lain memaksakan setiap kehendaknya kepada sang anak. Orang tua yang bijaksana adalah mereka yang mendengarkan keinginan dan harapan anaknya, kemudian memfasilitasinya sejauh keinginan mereka itu baik. Orang tua yang bijaksana adalah mereka yang memberi teladan dan panutan. Sebab anak adalah manusia yang harus diperlakukan layaknya manusia, bukan robot yang bisa diperintah seenaknya sesuai keinginan orang tua.

Sumber : Taqwim Islamy

Tips Bagaimana Mengingatkan dan Menegur Anak dengan Kata-Kata Positif

Panduan Tips mendidik anak - mengingatkan menegur dengan kata positif
Gunakan kata-kata positif untuk menegur, mengingatkan, atau menghukum dalam rangka mendisiplnkan anak ketika anak melakukan kesalahan. Waktu kita menghukum dalam rangka mendidik, atau mendisiplin anak, kita harus menggunakan kata-kata positif. Jika menghukumnya dengan menggunakan kata-kata atau marah kepada anak, maka harus tetap dalam kerangka berfikir dan berkata positif. Nasihat orang bijak: "Tegorlah kesalahannya tetapi jangan serang pribadinya."

Jika menegor anak yang bangun kesiangan, misalnya, katakan; "Ayo bangun sudah siang." katakan dengan nada tinggi atau berteriak tidak apa-apa, sesuai kebutuhannya, tetapi jangan katakan; "Ayo bangun, dasar pemalas." Perkataan semacam ini sudah menyerang pribadi si anak dan kita memberi label si anak dengan sebutan 'pemalas'.

Kalau anak nakal, malas, kurang ajar, maka katakan; "Anak papa, tidak boleh nakal..!" , "Anak mama tidak boleh malas!" "Anak BERAKHLAK tidak boleh kurang ajar!" atau "Anak soleh tidak boleh bohong!" "Anak Berakhlak tidak boleh begitu, Allah sayang, tetapi Allah sedih kalau kamu begitu", jadi label si anak tetap; anak papa, anak mama, anak berakhlak, anak baik. Ini penting untuk membangun citra diri yang benar dalam hidup anak, dan citra diri ini sangat penting.

Jangan katakan; "Anak bandel, dasar anak kurang ajar, anak monyet!" atau sumpah serapah lainnya, ini bukan mendidik, tetapi mengutuk dan anak akan kepahitan dan benci kepada si-pendidik. Tujuan kita marah adalah menghukum supaya anak kembali ke jalan yang benar, supaya anak menyadari kesalahannya, tetapi kalau cara kita menghukum salah, maka kita tidak akan mencapai tujuan kita.

Mengapa kita harus berkata-kata positif? Karena orang tua memiliki otoritas terhadap anak-anaknya. Mari kita gunakan otoritas ini untuk hal-hal yang baik, berkata baik, memberkati, mendoakan, memberikan kata-kata dorongan yang positif.

Sekali lagi, mendidik anak boleh saja marah atau menegor, hukumnya adalah: TEGOR KESALAHANNYA DAN JANGAN SERANG PRIBADINYA. 'Anak, bisa menjadi seperti apa yang diucapkan orang tuanya kepadanya'.

Jangan Marah Karena Harga Diri Kita
Marahlah untuk kebaikan anak, jangan marah karena harga diri kita. Ada saran praktis, karena sering melihat kesalahan yang secara umum dilakukan oleh orang tua. Memarahi, mendidik anaknya dengan kata-kata; "Kamu itu jangan berbuat begitu... saya malu ?" ''Memalukan orang tua!" Ini membuat anak dengan cepat menyadari, bahwa fokus orang tuanya bukan sayang kepada dirinya, tetapi kepada diri sendiri. Mendidik anak, mendisiplin anak, fokusnya, obyeknya tetaplah anak, karena kita mengasihi anak dan demi si anak.

Beberapa contoh kalimat, yang menunjukkan bahwa fokusnya anak dan demi anak: "Kalau kamu nakal, nanti kamu tidak punya teman" "Kalau kamu malas, kamu tidak pandai, bagaimana masa depan kamu" "Kalau kamu tidak naik kelas, dan yang lain naik kelas, semua membicarakan kamu, bagaimana perasaan kamu?" Dan seterusnya.

Thursday, May 22, 2014

Bagaimana Melatih Anak Tidur di Kamarnya Sendiri?

Panduan dan tips mendidik anak - melatih anak tidur di kamarnya sendiri
Melatih anak tidur di kamarnya sendiri kadang menjadi masalah tersendiri bagi sebagian orang tua. Apalagi anak yang sudah berumur di atas 2 tahun, tentu akan lebih sulit lagi.

Sebelum saya sharingkan bagaimana caranya melatih anak tidur dikamarnya sendiri, saya perlu tekankan dulu perlunya anak memang harus dilatih tidur dikamarnya sendiri. Ada wanita yang menjadi 'frigid', dingin secara sexual, karena semasa kecil, tidur sekamar dengan orang tuanya. Waktu malam, dia terbangun dan melihat kedua orang tuanya melakukan hubungan suami istri. Saat dilihat dalam posisi, dimana Ibunya mengeluh menahan, mengerang kesakitan. Itu menimbulkan rasa benci kepada bapaknya dan kepada laki-laki. Membuatnya ada semacam ketakutan untuk menikah, bahkan setelah menikah menjadi malas bahkan takut melakukan hubungan sexual dengan suaminya.

Ada juga anak yang justru terangsang dan ingin mencoba melakukan hal yang sama, karena dia melihat adegan yang menyenangkan. Reaksinya bisa berlain-lainnan, tergantung suasana apa yang dilihatnya. Adalah perlu untuk anak tidur dikamarnya sendiri, terpisah dengan orang tuanya. Selain anak yang bisa melihat hal yang belum waktunya, juga bisa menimbulkan masalah bagi suami yang merasa 'terganggu' dengan kehadiran anak di kamarnya.

Melatih anak tidur dikamarnya lebih mudah jika dimulai sejak usia 1-2 tahun, setelah selesai pemberian ASI. Jika sudah terlanjur tidak apa, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik, tidak ada kata terlambat untuk mendidik anak. Lakukan secara bertahap, buatkan kamar sendiri dengan suasana anak, gambar dan warna anak-anak. Temani anak tidur dikamarnya, dan biarkan terlelap dan baru ditinggal.

Jika anak terbangun dan menangis, atau takut, maka jangan diajak pindah ke kamar orang tua, tetapi orang tua yang pindah ke kamar anak dan tidur bersama anak. Besok ulangi lagi dengan meninggalkan jika benar-benar telah pulas, atau temani selama beberapa hari tidur di kamarnya sehingga dia terbiasa dan tidak asing dengan kamarnya.

Bagaimana Sikap Ayah Bunda dalam Mendidik Anak yang Efektif?

Panduan dan tips mendidik anak efektif - sikap orang tua kompak dan sehati
Salah satu prinsip mendisiplinkan anak yaitu kekompakan atau kesehatian orang tua (antara ayah(bapak, papa) dan bunda(ibu, mama)). Dalam mendidik anak, memberikan didikan/hukuman/mendisiplin anak, maka team pendidik, semua yang terlibat dalam mendidik harus memiliki sikap yang sama, harus sehati, termasuk ketika sedang menghukum. Suami dan istri, orang tua dan mertua, orang tua dan kakek neneknya bahkan orang tua dengan suster atau pembantunya harus sehati.

Jika kesamaan konsep, cara mendidik, cara menghukum, cara dan jenis pemberian imbalan (rewards) berbeda antara pihak-pihak yang terlibat, maka perdebatkan, diskusikan, pertengkarkan hal itu tidak dihadapan anak.

Anak akan rusak jika ayahnya sedang mendisiplin, lalu anak nangis dan lari ke ibunya, sambil mengatakan atau menangis: "Mama/bunda/ibu papa jahat." lalu ibunya membela dan mengatakan kepada si anak: "Memang. papamu jahat. sini sama bunda saja".

Anak akan rusak jika sementara salah satu orang tua sedang mendisiplin lalu pasangannya membela anaknya saat itu juga dan memarahi pasangannya didepan anaknya. Saat anak menangis karena sedang didisiplin, jika mereka lari ke kita, kita cukup memeluknya saja dan bukan membelanya. Katakan : " Ayah (atau Bunda) melakukan itu karena dia sayang sama kamu, kalau kamu baik, pasti ayah (atau Bunda) tidak hukum kamu". Berikan simpati, tetapi bukan pembelaan dengan menyalahkan yang sedang mendidik.

Jika anakmu dipukul pasanganmu, misal suamimu, engkau bisa memberikan simpati dengan melihat pantat/tempat dia dipukul, dan katakan "woow merah tuh", (biasanya anak akan menangis dibuat semakin kenceng) lalu gosok dengan 'body lotion' atau minyak, sambil mengatakan misalnya; "Ayah pukul kamu, karena Ayah mau kamu jadi anak yang baik, anak BERAKHLAK yang tahu sopan santun... Ayah perhatian sama kamu.. tidak seperti anak sebelah tuh... ngapain saja dibiarkan... memang enak.. tapi itu tidak baik".

Kalau anda berbeda prinsip, berbeda pendapat dalam mendidik anak dengan suami atau istri anda, maka diskusikan bahkan berdebatlah, tetapi di kamar, atau di luar rumah (di mobil dalam perjalanan) jangan di hadapan anak-anak. Jangan bertengkar karena yang satu membela anak dihadapan anak-anak, dan sering terjadi sementara anak-anak sudah rukun dan bermain kembali, orang tuanya justru masih tidak saling bicara.

Ketika ayah bunda sehati, anak tidak akan binggung dalam menangkan etika, moral, yang harus diikuti. Ayah bunda sehati, anak tidak akan galau untuk memilih salah satu diantara mereka, atau tidak akan gelisah, dengan masa depannya jika mereka bercerai. Ayah bunda yang sehati, Insya Allah menjadi tauladan, dan aturan menjadi mudah untuk dipahami.

Wednesday, May 21, 2014

Mengatasi/Melatih Anak (Laki-Laki) yang Lebih Malas Belajar

panduan dan tips mendidik anak - solusi anak malas belajar
Bagaimana solusinya jika anak kita malas belajar atau mengerjakan PR? Berbeda dengan anak laki-laki, anak perempuan memang lebih cepat dewasa daripada anak laki-laki. Di usia yang sama, anak perempuan seolah lebih dewasa 3 tahun. Anak perempuan cenderung tekun, sedang anak laki-laki cenderung kreatif, aktif, tidak bisa diam, bermain lebih banyak, tidur lebih malam dan bangun lebih siang. Orang tua, suster, pembimbing perlu lebih sabar bahkan mendampingi, menunggui anaknya yang laki-laki untuk mengerjakan PR-nya.

Suatu ketika saya pulang pelayanan dan saya tanya akan laki-laki saya, berumur 6 th, kelas 1 SD, apakah dia sudah mengerjakan PR-nya, dan hampir pasti setiap kali saya bertanya semacam itu, jawabannya adalah; "belum". Saya katakan pada anak saya; "Matikan TV, masuk kamar dan kerjakan PR". Anak saya menurut dan masuk kamar. Saya tetap di ruang keluarga membaca koran. Setengah jam kemudian saya menyusul ke kamar anak saya dan menjumpai dia bermain di meja belajarnya dan tidak mengerjakan satupun.

Anak saya mengajukan permintaan, mau mengerjakan PR kalau saya menemani, menunggui di kamarnya. OK, saya masuk kamarnya menunggui dan supaya tidak menganggur, saya baca koran di kamarnya. Lima belas menit kemudian saya menyadari bahwa anak saya juga tidak mengerjakan apa-apa selain corat-coret menggambar semaunya sendiri dan bukan mengerjakan PR-nya.

Dia mengajukan permintaan lagi, maunya ditunggui papa tapi tidak sambil baca koran! Saya sadar, bahwa anak butuh perhatian lebih dari yang kita bayangkan dan pikirkan. Saya taruh koran saya, saya ambil kursi, duduk disebelah anak saya dan sesekali saya 'dikte' / bacakan soalnya dan dia mengerjakan dengan sangat cepat!

Setelah sembuh dengan ditunggui, lain waktu kambuh susah lagi mengerjakan PR-nya. Maka saya menyarankan latih dan terus latih sampai dia sadar bahwa PR adalah urusan-nya dan bukan urusan/keperluan kita. Latih dengan cara mengendalikan kesukaanya.

Ketika anak kami masih lebih kecil, beberapa tahun lalu, dimana diajak orang tua ke plaza adalah hal yang menyenangkan, maka kami hanya mengajaknya ke plaza jika PR sudah dikerjakan dan jika tidak selesai, maka kakak dan adiknya yang sudah selesai mengerjakan PR diajak ke plaza dan dia ditinggal. Sekali kejadian kami benar-benar tinggal di rumah dan berikutnya 'ancaman' akan ditinggal cukup efektif membuat dia 'segera' mengerjakan PR-nya.

Ketika dia bertambah besar, maka kadang dia tidak ingin ke plaza bersama kami orang tua, karena dia lebih senang di rumah main komputer game. Kami kendalikan apa yang dia sukai, kami hanya mengijinkan main computer game, jika dan hanya jika PR-nya sudah selesai, jika belum, kabel power komputer kami cabut dan kami simpan.

Demikian juga jika dia mau ke rumah teman (rupanya dia mau main game di rumah temannya) boleh main ke rumah teman, setelah PR selesai.

Itulah yang kami lakukan untuk anak saya laki-laki yang juga mengalami masalah yang sama, dan itu butuh waktu bertahun tahun, dan sekarang ia menjadi juara, menang Asean Schoolarship, dan setelah 4 tahun di Singapura, lulus terbaik, dengan nilai STRAIGHT-A (SEMUA A) . Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, karena membentuk sikap, menanam perilaku dan karakter tidaklah secepat menanam singkong.

Bagaimana Cara / Tips Menjadi Ibu yang Baik?

panduan dan tips mendidik anak - cara menjadi ibu yang baik
Ada beberapa hal-hal sederhana yang dapat dilakukan jika ingin berusaha untuk menjadi ibu yang baik. Coba lakukan tips-tips berikut dan perhatikan hasilnya. Menjadi seorang ibu merupakan karunia yang sangat mulia. Ia dilembutkan suaranya agar menjadi peneduh bagi jiwa, ia diindahkan bentuknya agar menjadi penggembira bagi siapa pun yang melihatnya. Ia dikuatkan hatinya agar mampu menanggung beban seberat apa pun, ia disantunkan kata-katanya agar menjadi penyemangat ketika hati gundah.

PERTAMA
Jaga kesantunan kata-kata. Kata-kata merupakan dasar utama pembentukan karakter. Ia merupakan sebuah rangkaian doa panjang yang mampu menetapkan akan menjadi apa putra-putri kita nantinya. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata yang penuh amarah, apalagi yang merendahkan.

KEDUA
Jangan pernah berhenti mendoakan anak dalam setiap salat atau ibadah kita. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang sukses adalah karena ketulusan doa orang tuanya. Jadikan doa-doa anda seperti permadani panjang yang akan mengantarkannya pada kemudahan kemudahan persoalan hidupnya kelak.

KETIGA

Jangan pernah sekalipun putra-putri kita mendengar pertengkaran orang tuanya karena akan mengecilkan hatinya ketika menghadapi kesulitan-kesulitan. Studi psikologi membuktikan seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan orang tua yang penuh amarah akan memiliki daya tahan yang rendah dalam menghadapi persoalan.

KEEMPAT
Jaga keluarga kita dengan hati yang baik. Sehebat apa pun atau ke mana pun putra-putri kita akan disekolahkan. Tidak akan menjadi apa-apa sampai kualitas hati orang tuanya menjadi baik.

KELIMA
Anak-anak kita adalah bintang, ia memiliki kualitas bintang yang luar biasa kalau kita mau menggalinya. Jika ia tidak menjadi bintang, karena kita memperlakukan dengan cara-cara biasa.

KEENAM
Jangan pernah bicarakan kekurangan dan atau kejelekan putra-putri tercinta kita, apalagi menceritakan secara berulang-ulang. Mungkin memang benar dia melakukan kesalahan, tetapi dengan menceritakan justru akan memperkuat perilaku salahnya.

KETUJUH
Ajarkan nilai-nilai keluhuran budi karena hanya budi pekerti luhurlah yang akan membawa pada nilai-nilai kebahagiaan hakiki.

Tentu masih banyak hal-hal lain yang akan melengkapi kesempurnaan seorang Ibu. Sehingga setiap waktu adalah belajar dan belajar. Semangat!! untuk para ibu dan calon ibu. Belum terlambat untuk memulai semuanya agar lebih baik, agar masa depan anak cucu kita lebih baik dari kita.

Tuesday, May 20, 2014

Bagaimana Mengarahkan dan Memfokuskan Kegiatan-Kegiatan Anak

panduan dan tips mendidik anak - mengarahkan fokus kegiatan anak
Ada pendidik ataupun orangtua yang pada masa ini begitu percaya dengan kebebasan anak yang terlalu berlebihan sehingga mereka takut mengarahkan anak melakukan sesuatu yang sekiranya justru penting untuk dilakukan anak. Orang tua seyogyanya bisa mengarahkan dan menuntun terhadap apa-apa yang 'seharusnya' dilakukan oleh anak sesuai dengan usianya dan sebagai bekal untuk pendidikan dini.

Contohnya meminta anak fokus melakukan sesuatu. Anak cenderung banyak bergerak, bahkan untuk anak-anak yang biasa diberi kebebasan berlebih, saat dipegang, ia cenderung akan mengamuk. Tetapi sebenarnya saat ia melakukan kegiatan sebebas-bebasnya tanpa terarah, anak pun sering frustasi. Itulah sebabnya banyak anak suka sekali berteriak-teriak, melompat-lompat, melakukan banyak hal yang dicobanya untuk menyenangkan hatinya. Tetapi selama kegiatan itu tidak terarah, maka kegiatan-kegiatan itu sebenarnya lama-lama akan membosankan dirinya sendiri sehingga memacunya semakin menjadi marah.

Jika waktunya anak belajar, pengajar ataupun orangtua, mengajaknya. Jika ia tidak mau mendengar ajakan anda, peganglah tangannya. Jika ia mengamuk, anda bisa mendekapnya ataupun menggendongnya membawa ke tempat duduk. Dengan demikian anak tahu bahwa ada sangat serius dalam hal memintanya untuk belajar.

Untuk anak-anak yang lebih kecil biasanya rentang fokus mereka untuk berkonsentrasi pada suatu hal biasanya sangat pendek. Tidak apa, sabarlah. Ingatlah win-win solution. Pengajar ataupun orangtua harus memastikan bahwa anak telah fokus pada sesuatu yang kita minta ia lakukan walaupun hanya sebentar. Setiap hari, tambahkan waktu rentang fokusnya, mulai dari 10 detik, 1 menit, 5 menit. Dan... Jangan lupa untuk selalu memberi pujian yang 'pas' saat anak berhasil melakukan sesuatu.

Bagaimana Melibatkan Semua Pihak dalam Mendidik Anak

panduan dan tips mendidik anak - melibatkan semua pihak
Dalam mendidik anak, membutuhkan kesehatian dari semua pihak yang terlibat. Suatu ketika saya pulang ke rumah, dan anak saya mengadu, bahwa suster marahi dia begini dan begitu. Hati saya panas, saya pikir, ini suster kurang ajar juga, dia khan anak saya, apa haknya dia marah-marah ke anak saya. Dia suster ya cukup jadi suster saja, gantikan pakaian, mandikan anak, kasih makan, ajak main, beresin mainan, bersihkan kamar dan jangan 'lancang' melampaui wewenang ikut-ikutan marah ke anak.

Saat itu saya bergumul dalam hati dan pikiran saya, dan akhirnya saya peluk anak saya, saya berikan empati namun sambil berkata kepada anak saya: "Kamu pasti ada salahnya?" "Tidak mungkin suster marah-marah kalau kamu tidak salah" Anak saya mulai berkata: "Ya tetapi khan saya 'cuma' begini begini dsb". "Itu bukan cuma, itu salah, sana minta maaf sama suster" Bahkan sedikit saya paksa anak saya, minta maaf dengan suster.

Dengan prinsip semacam itu, waktu terus berjalan, maka kami orang tua yang 'menikmati' hasilnya, karena anak-anak menjadi hormat kepada suster (dan pembantu) sehingga kalau kami orang tua pergi, maka di rumah ada yang 'ditakuti' atau 'dituruti'. Jika orang tua memandang rendah pembantu atau suster sebagai 'babu' yang harkat dan martabatnya dibawah kita, dan tidak boleh 'marahi' anak sekalipun anak salah, maka anak tidak akan menghormatinya.

Saya menjumpai anak-anak yang 'menyiksa' pembantu, dengan mencubiti atau memukul dan tidak menurut sama sekali. Susternya kerepotan dan tidak tahan, pembantu atau susternya 'silih berganti' setiap 3 maksimal 6 bulan keluar, orang tua yang repot juga. Ini banyak terjadi karena orang tua juga tidak menghargai pembantu sebagai 'manusia'.

Anak akan bertumbuh dengan tidak menghargai orang yang lebih tua, dengan alasan status sosial dan ekonomi. Ini memang wajar dalam masyarakat namun menurut saya tidak baik. Seorang pemimpin yang berhasil adalah yang BERAKHLAK dan akhlak yang paling utama adalah berbelas kasihan, yang memiliki moral atau etika 'menghormati orang yang lebih tua' sekalipun dia seorang pembantu atau suster.

Insya Allah akan lahir generasi yang kuat. Mencetak generasi khairu ummah.

Monday, May 19, 2014

37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak Bag.4

panduan dan tips mendidik anak - hindari kebiasaan orang tua
Sejauh ini kita sudah membahas tentang 30 poin dari 37 kebiasaan orang tua yang perlu dihindari dalam mendidik anak. Kali ini kita akan membahasan 7 poin terakhir dari 37 kebiasaan tersebut :

31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata-kata maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.

Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat-beratnya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.

32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman-temannya yang suka menggodanya,

Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas-batas dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, "Tumben hari gini sudah pulang", atau "Sering-sering aja pulang malem!" atau"Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?".

Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, "Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam". Dan sejenisnya.

34. Memberi julukan yang buruk

Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.

35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu dengan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, " Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…"atau" Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?"

Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.

Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti "Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang." Jika kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.

36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
  • Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
  • Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata-kata kita atau ketepatan wakyu program-program TV?
  • Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program-program TV yang lebih menyenangkan?
  • Oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
  • Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
  • Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak-anaknya.
  • Gantilah program TV dengan film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.

37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
  • Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
  • Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
  • Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.

Berikut artikel lainnya yang berhubungan dengan 37 kebiasan orang tua yang perlu dihindari dalam mendidika anak.
  1. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.1 (1-10)
  2. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.2 (11-20)
  3. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.3 (21-30)
  4. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.4 (31-37)

37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak Bag.3

Panduan dan tips mendidik anak - hindari kebiasaan orang tua
Tulisan ini adalah bagian ke-3 dari 4 artikel tentang 37 kebiasaan yang harus dihindari oleh orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Untuk artikel sebelumnya bisa dicek pada tautan di bawah artikel ini.

21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati-hati karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang "Perfectionist". Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.

22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.

Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, "Sudah! Nggak pake banyak alesan." Atau "Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!".

Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.

Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, "menurut Papa/Mama bagaimana?" artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.

23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, "Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih."

Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti "manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu", atau "Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini". Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.

24. Suka Membandingkan

Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]

Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?

Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, "Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!".

Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, "Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?"

25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, "ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup." Atau, "kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!".

Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.

Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.

Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.

26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.

Pernyataan yang kerap muncul adalah, "kamu emang nggak becus ngedidik anak", dan kemudian dibalas "enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!". Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.

Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.

Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.

27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?

Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. "Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya." Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.

Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.

Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.

28. Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.

Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.

Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.

29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.

Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.

Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.

30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.

Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.

Berikut artikel terkait lainnya tentang 37 hal yang harus dihindari orang tua dalam mendidik anak.
  1. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.1 (1-10)
  2. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.2 (11-20)
  3. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.3 (21-30)
  4. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.4 (31-37)

37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak Bag.2

Panduan dan tips mendidik anak - hindari kebiasaan orang tua
Sebelumnya kita sudah membahas tentang 10 dari 37 kebiasaan orang tua yang perlu dihindari dalam mendidik anak. Kali ini kita akan membahasan 10 poin kedua dari 37 kebiasaan tersebut :

11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak

Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. "Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!"

Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.

12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, "Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…"

Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa-sisa tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.

13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.

Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, "Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya." Atau "Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.".

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.

14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara "tegas" bukan bicara "keras". Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.

Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.

15. Gengsi untuk Menyapa

Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.

16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya

Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, "Yah… anak cowo emang harus bandel" atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang "maklumlah… namanya juga anak anak". Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan "ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…"

Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.

17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti "Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!" atau, "awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama", bisa juga terungkap, "kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya".

Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah "jangan macam macam", perilaku apa yang termasuk kategori "macam macam". Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya "Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya". Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.

18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.

Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.

19. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.

Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.

Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.

20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.

Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.

Berikut artikel lainnya yang berhubungan dengan 37 kebiasan orang tua yang perlu dihindari dalam mendidika anak.
  1. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.1 (1-10)
  2. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.2 (11-20)
  3. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.3 (21-30)
  4. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.4 (31-37)

37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak Bag.1

Panduan dan tips mendidik anak - hindari kebiasaan orang tua
Menikah kemudian dikaruniai amanah putra atau putri oleh Allah adalah sebuah kebahagian yang sangat luar biasa, namun tidak sedikit bagi para orang tua kurang berhati-hati dalam mendidik buah hatinya. Tanpa terasa cara mendidik yang dilakukan orang tua akan berpengaruh negatif kepada diri anak.

Berikut 37 kebiasaan orang tua dalam mendidik anak yang dapat menghasilkan perilaku buruk pada anak yang akan dibagi dalam 4 bagian artike. Mari kita mulai membahas 10 kebiasaan yang pertama :

1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, "Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.

Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.

Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.

Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.

Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?
Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): "Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi."

2. Berbohong Kecil, Berbohong pada Anak
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?

Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, "Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang." Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, "Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh." Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.

Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan "bohong kecil", dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
"Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut."

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.

3. Banyak Mengancam Anak
"Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!"
"Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!"

Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan "….nanti Mama/Papa marah!"

Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, "Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu." Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal "Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.

4. Bicara Tidak Tepat Sasaran, Bicara tepat sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, "Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!" atau "Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!" Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal-hal atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.

Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.

5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: "Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun." Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.

6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, "Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!" Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.

Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal "Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?" bila jawabannya "lima menit lagi Pa/Ma". Kita jawab kembali, "Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa". Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.

7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak-anaknya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.

Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. 

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,"Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara-gara…". Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, "Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati…."

8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.

Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.

9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, "Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!" Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak-anak juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, "Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen." Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.

10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.

Artikel lanjutan :
  1. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.1 (1-10)
  2. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.2 (11-20)
  3. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.3 (21-30)
  4. 37 Kebiasaan yang Harus Hindari Orang Tua dalam Mendidik Anak bag.4 (31-37)